ARTIKEL 

Buruh, Sastra Buruh, dan Buruh Sastra

Saat kita pertama kali mendengar kata “buruh”, mungkin kita akan teringat tanggal satu Mei atau May Day yang saat ini kita peringati sebagai hari buruh meski di Indonesia hari buruh diperingati dan menjadi hari libur nasional barulah tiga tahun belakangan ini. Butuh perjuangan panjang dan memilukan bagi para pekerja di Indonesia untuk bisa menjadikan tanggal satu Mei bisa diterima sebagai hari buruh, sebab di banyak negara di dunia hari buruh diperingati dan dirayakan sudah begitu lama, sejak abad 19.

Saat mendengar kata “buruh”, mungkin juga yang terbersit di benak kita adalah para pekerja pabrik yang dibayar cukup murah.Ya, ilustrasi kita mungkin hanya sebatas buruh pabrik, padahal sebenarnya tentu lebih luas dari itu; ada buruh bangunan, buruh cuci atau buruh rumah tangga, buruh sawah atau tani, juga buruh toko, setidaknya itu definisi buruh jika mengacu Wikipedia bahwa buruh adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan dari sang pemberi kerja atau majikan.

Buruh adalah seorang yang dibayar atau diberi upah oleh majikan atau pengusaha, begitulah sederhananya, meski faktanya tidak sesederhana itu. Pada praktiknya, sering sekali hubungan itu berjalan dengan merugikan buruh sebagai bawahan. Banyak buruh mendapat hak yang tidak semestinya baik dalam jumlah gaji, hak kesehatan, tunjangan dan jaminan hidup yang jauh dari sejahtera bahkan untuk bisa disebut layak.

Kesenjangan dan ketegangan antara buruh dan majikan atau pengusaha itulah yang kemudian banyak memicu konflik. Demonstrasi dan mogok kerja adalah cara yang sering dilakukan buruh untuk bisa mendapat hak yang semestinya. Tentu ini adalah hak buruh, bagaimanapun juga buruh tidak akan turun  ke jalan dan mogok kerja jika hak mereka sebagai pekerja diperhatikan dan dipenuhi. Mereka yang melakukan mogok kerja dan demonstrasi tentunya adalah para buruh yang bekerja di pabrik dan sektor industri yang memiliki serikat. Kita bayangkan bagaimana nasib para buruh lain yang bekerja di sektor rumah tangga, bangunan dan juga pertokoan yang tidak bisa menayalurkan aspirasi mereka dengan baik, nasib mereka tentu lebih menyedihkan.

Sadar ataupun tak sadar, ada dampak yang terjadi dan tak bisa terhindarkan saat buruh melakukan aksi turun ke jalan. Jumlah massa yang besar sering menyebabkan kemacetan lalu lintas yang menghambat jalur transportasi dan distribusi, mengganggu kenyamanan warga dan terkadang bisa menyebabkan anarkisme yang bisa menimbulkan kerugian baik bangunan dan materi lainnya dan bisa juga menimbulkan korban jiwa. Hal ini tentu terjadi mungkin karena faktor ketidaksengajaan.

Hal yang paling mungkin untuk melakukan protes (baca; menyalurkan aspirasi) buruh adalah melalui tulisan. Mungkin sejak dahulu cara tersebut telah dilakukan, tetapi itu masih dalam bentuk selebaran yang penuh dengan propaganda yang cenderung frontal dan membuat konflik makin tajam. Tulisan yang indah, dalam hal ini sastra baik puisi, cerpen, esai, drama atau teater bisa memainkan peran untuk menjadi instrumen paling ampuh untuk menyampaikan suara kaum buruh.

Sastra memang telah memainkan peran sebagai alat perjuangan para buruh. Perjuangan kaum buruh sendiri telah terjadi dari masa ke masa, tetapi menemukan momentum dan kebangkitannya pada abad 19 baik di Eropa maupun Amerika. Saat itu buruh bekerja hingga 19 jam dalam satu hari. Meski tidak terlalu relevan mewakili perjuangan buruh, tapi setidaknya kita bisa memiliki gambaran yang cukup utuh tentang kehidupan buruh yang penuh dengan kemiskinan, kekasaran dan penuh eksploitasi saat membaca novel Germinal karya Emile Zola (1840-1902). Novel yang terbit tahun 1885 ini berkisah tentang kehidupan buruh tambang di Prancis yang begitu mengenaskan.

Abad 19 sendiri diwarnai dengan pengaruh besar Karl Marx (1818-1883) yang memiliki konsen besar dalam kehidupan buruh yang disebut kaum proletar yang dikonfrontasikan dengan kaum borjuis dan pemilik modal. Tak dapat disangkal juga bahwa Marx memiliki cita rasa akan sastra yang begitu besar dan memiliki madzhab dan pengikut hingga kini. Konsen para teoritisi dan kritikus sastra Marxis secara sederhana adalah bahwa kusasteraan harus berperan sebagai analisis dan kritik sosial. Hanya saja konsep, rumusan dan ajaran Marxis akan selalu mengusung dan tak pernah lepas dari doktrin ideologi tertentu yang sangat mungkin tidak cocok pada budaya, masyarakat, dan negara tertentu.

Sastra buruh sendiri di Negri kita barangkali masih merupakan suatu hal yang membutuhkan ekplorasi. Sastra buruh bisa saja gerakan sastra yang berasal dari kaum buruh dalam hal ini Sastrawan yang berprofesi sebagai buruh, atau bisa jadi gerakan atau yang lebih sederhana adalah karya sastra para Sastrawan yang mengangkat isu dan berpihak membela kaum buruh. Meski gerakan sastra buruh belum bergerak secara Massif baik pada tataran kesadaran atau gerakan itu sendiri, pada dasarnya kita telah memilikinya. Sastra buruh migran misalnya setidaknya bisa menjadi satu harapan bagi kita semua, begitu juga dengan beberapa organ dan komunitas sastra urban yang jelas arah dan tujuannya.

Sesungguhnya memang tak perlu ada dikotomi antara sastra buruh dan sastra non buruh (ini hanya untuk penyebutan bagi para sastrawan yang bukan berprofesi buruh), karena pada dasarnya sastra memiliki spirit untuk berbicara tentang eksploitasi alam, ketidakadilan dan penindasan serta membela kaum kecil. Mereka, para sastrawan yang telah menulis dan menyuarakan lewat karya untuk membela segala macam ketidakadilan dan penindasan pada dasarnya adalah buruh sastra.

 

Mahrus Prihany

 

  

 

Related posts

Leave a Comment

sixteen + twelve =